The Fatahillah Square: Mengulik Jejak Historis Kolonialisme di Jakarta

 


Ga kerasa ya udah mau masuk kuarter 4 di tahun 2022, berarti udah 5 tahun 6 bulan 4 hari berlalu setelah tulisan terakhir gua soal sisi sunyi di Pantai Mangkok Ijo. Kali ini gua kembali buat sedikit meluangkan waktu untuk menulis lagi catatan perjalanan gua di pertengahan tahun 2022. Waktu yang cukup lama ya buat rehat dari tulis menulis karena kesibukan pekerjaan. Sebenernya banyak banget cerita yang pengen gua tuangin di sini.

Sebagai anak perantauan ibukota ga sah juga kalo ga ngomongin Jakarta. Ibarat gula ga akan ada manisnya kalo tanpa guaJakarta memang gaakan ada abisnya buat dibahas termasuk wisatanya. Sebuah kota yang bukan melulu soal landmarkdan itu berarti bukan cuma Monas aja tapi banyak spot yang asik buat dikunjungi. FYI, Kota Jakarta yang kita kenal sekarang dulunya bernama Batavia, sebuah ibukota pendudukan Hindia Belanda sekitar tahun 1600-an. Batavia didirikan di pelabuhan namanya Jayakarta atau dikenal juga dengan nama pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi titik strategis perdagangan kesultanan Banten. Sampai pada akhirnya VOC datang buat mengendalikan perdagangan dan kekuasaan politiknya di bumi Nusantara. 


Di Jakarta terdapat salah satu peninggalan masa pendudukan Belanda yaitu Kota Tua. Familiar kan? Nah, Kota Tua ini dikenal juga dengan nama Batavia Lama atau Oud Batavia. Sebuah wilayah dekat pesisir utara dan barat Jakarta. Pada abad ke 16, wilayah ini mendapatkan julukan "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" dari pelayar-pelayar Eropa. 

Sebagai kawasan penting, pusat perdagangan dan pusat kota, Kota Tua merupakan 'rumah' bagi beberapa situs dan bangunan arsitektur bersejarah. Ada Gedung Arsip Nasional, Stasiun Jakarta Kota, Cafe Batavia, Pecinan Glodok & Pinangsia, Toko Merah dan Menara Syahbandar. Bahkan karena Kota Tua juga sebagai tempat bertemunya banyak etnis dan agama, bangunan seperti Gereja Sion, Vihara Jin De Yuan dan Masjid Luar Batang bisa ditemukan disini. Hingga sampai sekarang beberapa bangunan juga dijadikan museum seperti Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Bahari, Museum Seni Rupa & Keramik, Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah— dulu difungsikan sebagai balai kota pemerintahan VOC di Batavia.


Saking banyaknya pilihan spot yang bisa dikunjungi jadi bikin gua bingung, harus kemana dulu nih. Setelah perdebatan panjang dengan diri gua sendiri dan nunggu sekitar satu purnama akhirnya spot pertama yang mau gua datengin adalah .... Ya, The Fatahillah Square atau Taman Fatahillah. Tapi kali ini gua jalan bareng pacar gua (read: mantan), jadinya kalo jalan sendiri agak kureng.


Museum ini beralamatkan di Jalan Taman Fatahillah nomor 1, Pinangsia, Jakarta Barat. Kalau akses transportasi paling mudah kalian bisa pakai KRL dan turun di Stasiun Jakarta Kota karena posisinya yang terhitung dekat. Trans Jakarta juga bisa kalian gunakan sebagai alternatif. Jam operasional Museum Fatahillah ini dari jam 09.00 - 15.00 WIB ya. Harga tiket masuknya itu dikenakan Rp 5.000 untuk orang dewasa, Rp 2.000 untuk anak-anak. Tapi gua disaranin penjaga loketnya buat sekalian beli tiket seumur hidup dengan harga Rp 35.000, jadi pake kartu JakCard yang diterbitin sama Bank DKI ya gais, jadi itu semacam kartu prabayar multifungsi, bahkan itu bisa berlaku buat 2 orang. Sama jangan lupa scan Peduli Lindungi sama pake masker ya, karena waktu gua kesini masih diterapin protokol kesehatan jadi liburan aman hatipun nyaman.

Sebelum masuk Museum Fatahillah nya, mantan ngajakin buat jajan telur gulung sama bakso di halaman luarnya. Jadi di halaman luar ini juga banyak orang yang jualan, mau cari jajanan khas bocil atau makanan berat juga ada. Selain jajanan, kalian juga bisa nemuin beberapa manusia patung. Mereka mencat tubuh mereka sendiri dengan warna metalik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dengan kostum unik kaya karakter pahlawan gitu, yang bentuk noni belanda juga ada. Kalian bisa foto bareng dan juga ngasih tip seikhlasnya.

Jam udah menunjukkan waktu sekitar pukul 12 siang, lumayan bikin keringet segede biji jagung nempel di sekitar muka sama badan, tapi kalian ga perlu khawatir karena di dalam Museum Fatahillah ini ada beberapa ruangan yang ber-AC jadi lumayan lah biar ga gerah gerah banget. Karena gua kesini hari minggu, jadi pengunjungnya lumayan banyak. Kebanyakan dari pengunjung ini adalah keluarga dan remaja-remaja. Mantep juga ternyata masih banyak pemuda pemudi yang masih tertarik sama wisata sejarah. Termasuk gua, remaja, tapi 10 tahun lalu. Ga cuma wisatawan lokal yang tertarik ke tempat wisata sejarah seperti ini karena beberapa kali juga terlihat wisatawan asing.

Museum Fatahillah ini terdapat 3 lantai termasuk ruang bawah tanah. Lantai pertama ini isinya mayoritas barang peninggalan warga kolonial yang pernah bermukim disini dan disimpan rapi di beberapa tempat termasuk lemari kaca seperti meubel, perabot rumah tangga dan buku-buku. Barang lain seperti keramik, kerajinan tangan dan patung hingga senjata juga tersimpan rapi di lantai ini. Barang-barang penemuan Arkeolog jaman dulu juga ada disini, seperti peninggalan kerajaan Tarumanegara dan Padjajaran. Buat kalian yang termasuk suku Betawi khususnya juga bisa ngerasain time traveling sedikit buat melihat benda-benda peninggalan budaya Betawi. Jadi kalian bisa ngerasain suasana tempo dulu. 



Udah puas di lantai 1, lanjutlah naik ke lantai 2. Kayanya masih ga jauh beda dari lantai 1 cuman disini lebih banyak koleksi barang-barang bersejarahnya. Beberapa peninggalan pendudukan Belanda mulai dari lukisan-lukisan jaman kolonial, uang kertas pada masa penjajahan sampai meja besar lengkap dengan kursi semacam tempat buat rapat pejabat-pejabat Belanda. Ada sedikit cerita bahwa di ruangan ini dulunya jadi tempat buat Belanda menyaksikan 'atraksi' hukuman dan eksekusi bagi tahanan yang dilakukan di alun-alun tengah. Karena di lantai atas memiliki jendela-jendela lebar di setiap ruangannya. Terdapat beberapa sumber menyebutkan sedikitnya ada total 23.000-an koleksi baik dalam bentuk benda atau replika yang ada di museum ini.



Kayanya kalau ke Museum Fatahillah ga lengkap juga kalau ga ngerasain gimana rasanya di penjara bawah tanah. Ruangan yang ga kalah penting dari semua simbol-simbol kebesaran kolonialisme. Ya, penjara bawah tanah. Tempat yang menjadi salah satu titik perjuangan tahanan rakyat Indonesia yang melawan pemerintahan kolonialis. Ada sekitar 5 ruangan penjara bawah tanah dan mungkin hanya beberapa ruangan yang masih dibuka untuk umum. Dengan kondisi yang sempit, gelap dan pengap lengkap dengan bandul besi yang masih tersisa. Kalian bakal ngerasain setiap tarikan nafas perjuangan bangsa. Buset sabi banget bahasa gua.

Tapi jujur, ada sedikit perasaan merinding yang muncul ketika gua melihat semua gambaran kedigdayaan Belanda waktdan kondisi bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan negerinya dari bangsa kolonialis yang begitu mengidamkan negeri ini.


Mungkin kira-kira gini kali ya yang ada di benak orang Belanda pas lihat Indonesia dan segala tetek bengek-nya dari lantai atas gedung, 
"Kijk naar de hemel op aarde is eigenlijk in dit land, alles wat je zoekt vind je hier"
Buat yang gatau artinya, nih gua kasih terjemahannya : "Lihatlah surga dunia sebenarnya ada di negeri ini, semua yang kamu cari akan kamu temukan disini".

Ga kerasa juga muter-muter sampe sore. Di halaman dalemnya gua mutusin buat istirahat bentar sambil beli kuliner dan jajanan khas Betawi. Dan gua bisa ngerasain namanya kerak telor ya baru ini, karena sebelumnya gua ngiranya kerak telor sama ketoprak itu sama haha. Ternyata lidah gua kurang cocok sama namanya kerak telor, but experience is expensive bro. Kalian juga bisa nyoba tahu gejrot disini dan kalau mau cari minuman juga ada toko kecil. Tapi kalo kalian nyari tempat karaoke gaada disini. Oh ada satu lagi selain kuliner, yaitu tempat jual souvenir juga ada seperti pernak pernik, gantungan kunci, baju sampai kain juga ada. 

Gua sempet bengong waktu istirahat disini. Selagi menikmati suasana Belanda sore hari gua jadi keinget lagu Wieteke van Dort. Penyanyi asli Belanda yang populer dengan lagunya yang berjudul "Geef Mij Maar Nasi Goreng". Lagu-lagunya unik, menggambarkan kecintaan seorang Belanda asli yang lahir di Surabaya melalui liriknya. Coba deh dengerin lagunya, sentuhan musik keroncongnya enak banget didengerin sore sore. 

Dan ini penggalan liriknya:

Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
(Beri saja aku nasi goreng dengan omelet)
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
(dengan sambal dan krupuk dan segelas bir)
Geen lontong, sate babi, en niets smaakt hier pedis
(Tidak ada lontong, sate babi, tidak ada rasa pedas)
Geen trassi, sroendeng, bandeng en geen tahoe petis
(Tak ada terasi, srundeng, bandeng dan tahu petis)
Kwee lapis, onde-onde, geen ketella of ba-pao
(Kue Lapis, onde-onde, tidak ada ketela atau bakpao)

Sebenernya gua masih pengen nikmatin momen ini dan gatel buat keliling lagi di museum sekitar Fatahillah. cuman keterbatasan waktu dan besoknya udah hari senin waktunya kerja dan mantan gua juga cape, jadi gua mutusin buat kita balik aja. Sementara itu gua akan ngumpulin energi lagi buat jadi jadiin spotlist berikutnya.

Jakarta memang gaakan menawarkan kalian keindahan alam semacam Bali, Wakatobi, Raja Ampat atau daerah lain yang jadi buruan wisatawan. Tapi Jakarta ga kalah asik buat di-explore. Pengalaman wisata sejarah bisa jadi pilihan kalo kalian mau jadi time-traveler. Jadi begitulah singkat cerita tentang kentalnya memori Jakarta bersama Belanda dan gua bareng mantan. Hilih.


0 Komentar:

Posting Komentar